, , ,

    Kami bersama jernihnya aliran air sungai kecil  yang dinamai Salu Alambangan, berlatarkan hijaunya alam yang masih asri. terletak di dusun Pamboborang, Desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat. 

    salu alambangan pamboborang
    Salu Alambangan, jernihnya sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat (foto : Raspan)
    Salu Alambangan menawarkan air sungai yang dingin dan sejuk. Jika lelah dan letih mengelilingi Pamboborang, siang atau sore harinya dapat ditutup dengan kunjungan ke tempat wisata ini

    salu alambangan pamboborang banggae
    Salu Alambangan, jernihnya sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat (foto : Raspan)
    salu alambangan pamboborang majene
    Salu Alambangan, jernihnya sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat (foto : Raspan)



    salu alambangan pamboborang banggae majene
    Salu Alambangan, jernihnya sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat (foto : Raspan)



    view salu alambangan pamboborang
    Salu Alambangan, jernihnya sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene, Sulawesi Barat (foto : Raspan)
    Tempat ini selalu ramai didatangi pengunjung dari remaja, pemuda-pemudi sekitar wilayah sekitar desa Pamboborang. tawa lepas hilangkan sejenak beban fikiran.

    Kontributor :
    Foto : Raspan
    Teks : Raspan, Muhammad Tom Andari

    , ,

    Messawe Saeyyang Pattuqduq, juga tradisi yang masih terus bertahan di suku Mandar, Sulawesi Barat setiap bulan Maulid atau dalam penanggalan hijriah yang jatuh pada bulan Rabiul Awal hingga beberapa pekan setelahnya maka daerah-daerah di Mandar akan terdapat banyak pertunjukan messawe saeyyang pattuqduq. Baru saja kemarin (Minggu, 03 Februari 2019) pessawe terakhir dihelat di desa Bala, kecamatan Balanipa, kabupaten Polman, Sulawesi Barat.  Ini adalah rangkaian terakhir dari pertunjukan saeyyang pattuqduq  yang bisa ditemukan tahun ini.

    tradisi messawe saeyyang pattuqduq
    Tradisi Messawe Saeyyang Pattuqduq dengan penunggang seorang Syarifah yang dihelat tahun ini di desa Pambusuang, kec. Balanipa, kab. Polman, Sulawesi barat (Foto : Wawan Rukman)
    Tradisi yang masih terus dilestarikan di suku Mandar ini akan menghadirkan parade kuda yang menari mengikuti rentak rebana, arak-arakan keliling kampung untuk mereka yang telah mengkhatamkan Al Qur'an. Pemuda atau pemudi yang mengenakan pakaian gaya arab, laki-laki mirip dengan kostum arab dengan gamis panjang Thawb dan penggunaan Kefiyeh, sementara perempuan akan mengenakan kerudung, biasa disebut Baqdawara. Biasanya seekor kuda ditunggangi oleh dua orang, satunya di bagian belakang menggunakan kostum budaya adat Mandar. Jika pasangan di bagian depan adalah orang dewasa, biasanya dibelakangnya duduk anak-anak atau remaja. 

    tradisi messawe saeyyang pattuqduq mandar
    Tradisi Messawe Saeyyang Pattuqduq dengan penunggang seorang Syarifah yang dihelat tahun ini di desa Pambusuang, kec. Balanipa, kab. Polman, Sulawesi barat (Foto : Wawan Rukman)
    Saat rebana ditabuh maka sang kuda dan beberapa pesarung (yang memegangi penunggang kuda) akan menjaga agar penunggang kuda tidak jatuh. Mereka  akan diarak di sepanjang jalur-jalur jalan dusun hingga pinggiran desa, tidak jarang kegiatan ini masuk kel jalur-jalur utama jalan provinsi, yang membuat kemacetan panjang, seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu di daerah Galung Tulu, kec. Balanipa kab. Polman, rusa jalan lumpuh selama beberapa jam.

    Dahulu kegiatan ini tidak begitu ramai, namun karena messawe saeyyang pattuqduq seolah-olah bergeser menjadi pertunjukan yang tampaknya menjadi ajang adu gengsi antara kampung dan desa maka kemudian setia dusun dan desa seolah bertarung menghadirkan jumlah pessawe dan saeyyang pattuqduq dalam jumlah banyak. 

    Walau ada sedikit pergeseran nilai dari awal maksud pelaksanaan ritual khataman Al Quran ini, namun dari sisi tinjauan atraksi wisata messawe saeyyang pattuqduq  sangat menarik bagi para pelancong atau pendatang dari luar daerah. 

    Kontributor :
    Foto : Wawan Rukman
    Teks : Muhammad Tom Andari

    ,

    Setelah bukit Galung Paara yang mulai dilirik dan dikunjungi banyak generasi milenial di Majene, kami pemuda desa Pamboborang, kec. Banggae terus berbenah dalam menemukan potensi desa untuk pengembangan pariwisata, tujuan akhir tentu saja menarik para wisatawan lokal maupun luar daerah dengan menonjolkan keeksotisan alam sekitar.

    Pamboborang mungkin dikenal dengan budaya pandai besi dan potensi wisata sejarahnya, tetapi desa kecil ini juga sebenarnya punya beberapa titik berpotensi wisata, diantaranya sungai kecil di tengah desa yang menjadi bagian dari mata air yang mengaliri wilayah desa.  Sungai ini punya potensi untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata lain di Pamboborang, tidak melulu hanya soal besi dan makam tua.

    mata air potensi pariwisata desa pamboborang
    Mata air yang mengalir dari pinggiran sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene (Foto : Raspan)
    Pemanfaatan sungai kecil dengan tebing di pinggiran sungai menyerupai dinding Akar berbentuk batu dengan aliran air di atasnya, yah tidak sulit untuk menemukan mata air di pinggir sungai kecil di desa ini. Ini yang beberapa waktu lalu coba kami telusuri 
     
    mata air potensi desa pamboborang
    Mata air yang mengalir dari pinggiran sungai kecil di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene (Foto : Raspan)

    Pamboborang punya aliran sungai kecil yang debitnya cukup banyak, untuk berendam dan mandi bisa dan kedalamannya masih terjangkau. Setelah berputar mengelilingi keelokan desa Pamboborang, sungai kecil in bisa menjadi penutup aktivitas kegiatan untuk mendinginkan dan merilekskan tubuh.

    sungai kecil potensi desa pamboborang
    sungai kecil potensi atraksi wsiata alam di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene (Foto : Raspan)

    sungai kecil potensi wisata desa pamboborang
    sungai kecil potensi atraksi wsiata alam di desa Pamboborang, kec. Banggae, kab. Majene (Foto : Raspan)
    Bersama Komunitas Pemuda Desa Pamboborang kedepannya kami terus berusaha agar Pamboborang lebih baik dalam hal pengembangan pariwisata di tingkat desa yang pada akhirnya akan berujung pada dampak peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat sekitar, seperti tujuan pariwisata yang memberikan  kesempatan pembukaan usaha, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan serta terpeliharanya keadaan lingkungan di sekitar objek wisata.

    Kontributor : 
    Foto : Raspan
    Teks : Raspan, Muhammad Tom Andari

    , ,

    Bukit Galung Paara, desa Pamboborang, kec. Banggae, kabupaten Majene, pemain baru objek wisata yang sedang hits di Majene. Destinasi yang coba dikembangkan oleh pemuda setempat, Diantara  keunggulan objek wisata dataran tinggi ini yaitu dari puncak bukit dusun Galung Paara, Desa Pamboborang, tampak pemandangan perbukitan kec. Pamboang dan Puawang, Baruga Dhua. Walau ada banyak view  seperti ini yang dapat ditemukan di Majene, Pamboborang menggabungkan dua are pedalaman dan pesisir. Ia berada di tengah-tengah. 

    Beberapa pekan terakhir sejak dilengkapi dengan fasilitas pendukung oleh komunitas pemuda setempat, bukit ini ramai dikunjungi, terutama saat sore hari. Fasilitas ayunan, jembatan sederhana dengan jalur marka jalan menjadi tempat bagi remaja dan pemuda setempat melakukan swafoto, baik selfie atau wefie. Berikut ini adalah beberapa dokumentasi foto di bukit Galung Paara. 

    Fasilitas berfoto like dan share media sosial facebook yang disediakan oleh pengelola di bukit Galung Paara (foto : Raspan)
    Untuk skala remaja dan generasi milenial, Galung Paara menyediakan beberapa properti berfoto seperti hasil foto diatas, like dan share media sosial facebook. Bentuk promosi objek wisata secara tidak langsung yang dapat membuat Galung Paara menjadi lebih dikenal.

    View objek wisata perbukitan di Galung Paara, desa Pamboborang, Kec. Banggae, kab. Majene  (foto : Raspan)
    Untuk soal pemandangan bukit dan potret saat senja, Galung Paara bisa diandalkan, ketinggiannya yang berkisar beberapa mdpl , menawarkan pemandangan barisan perbukitan dengan ladang petani lokal yang dapat disaksikan dari puncak bukit. 

    Fasilitas foto jembatan dengan view latar belakang perbukitan di Galung Paara, desa Pamboborang, Kec. Banggae, kab. Majene  (foto : Raspan)
    Fasilitas landmark Youtube  di Galung Paara, desa Pamboborang, Kec. Banggae, kab. Majene  (foto : Raspan)

    View objek wisata perbukitan di Galung Paara, desa Pamboborang, Kec. Banggae, kab. Majene  (foto : Raspan)
    Menurut pemuda setempat, Raspan (penggagas Sulbar creative), ini adalah  titik strategis menikmati dan menatap keindahan perkebunan dan suguhan pemandangan gugusan pegunungan Pamboang dan Puawang. Di titik ini lah, cikal bakal agrowisata di desa Pamboborang nantinya kelak akan dikembangkan. Juga ada harapan melihat peluang ditengah menggeliatnya bisnis pariwisata yang cukup menjanjikan.

    Kontributor : 
    Foto : Raspan
    Teks : Raspan, Muhammad Tom Andari
     

    ,

    Kearifan lokal Mandar yang juga masih bertahan di Sulawesi Barat adalah kegiatan "marriqdiq popupuang "  yaitu membuat lauk dari bahan ikan untuk acara/kenduri besar.

    marriqdiq popupuang mandar sulawesi barat
    Kegiatan Mariqdiq Popupuang di Mandar, Sulawesi Barat (Foto : Wawan Rukman)
    Di kota yang agak besar, seperti di pusat ibukota kabupaten di Sulawesi Barat, pupuq tinggal dibeli di penjual atau di pasar, di kampung-kampung tradisonal Mandar, pupuq masih dibuat dengan cara gotong royong, maka kaum pemuda atau lelaki dewasa biasanya  akan berkumpul untuk menumbuk bahan ikan dalam lesung dengan alu.

    Kegiatan ini menghadirkan dominan kaum laki-laki dengan sisi maskulin mereka yang diharapkan mampu menghancurkan bentuk ikan menjadi lebih halus dan dicampur dengan bumbu dapur sehingga dapat dibentuk menjadi geometri segitiga pupuq. Para pemuda ini tentu saja diganjar oleh empunya rumah dengan jamuan kopi, penganan tradisional, dan tentu saja beberapa bungkus rokok yang biasanya disiapkan dalam wadah piring kecil. 

    Kontributor :
    Teks : Muhammad Tom Andari
    Foto :Wawan Rukman

    ,

    Mappakeqdeq boyang (mendirikan rumah) bersama dengan keluarga besar di Lambanan. Meakayyang adaqtaq mipasalili litaqtaq. Lambanan adalah desa yang punya histori religi kuno di wilayah Balanip, menurut beberapa literatur sejarah, kawasan ini adalah daerah pertama yang memluk agama Islam di kerajaan Balanipa. Setelah daerah ini mengalami Islamisasi, baru kemudian daerah-daerah lain di pusat kerajaan Balanipa menyusul memeluk agama Islam. 

    Lambanan terletak di puncak bukit, dengan topografi yang ekstrim, untuk menuju desa ini harus berbelok di daerah Galung Tulu, daerah antara Waitawar, desa Tammangalle dan desa Pambusuang. Tradisi mendirikan rumah yang kental dengan budaya kekeluargaan dan gotong royong masih sangat terasa di area ini, terbukti dari  kegiatan pendirian rumah oleh salah seorang warga yang menghadirkan banyak rangkaian acara tradisi. Penghadiran makanan tradisional, pemuka agama, dan warga sekitar menjadi pemandangan yang menarik.     

    Kegiatan mendirikan rumah panggung (Mappakeqdeq Boyang) di desa Lambanan, kec. Balanipa, Kab. Polman, Sulawesi Barat (Foto : Ilham)
    Kegiatan mendirikan rumah panggung di suku Mandar di daerah Lambanan adalah satu dari kegiatan massal yang menghadirkan puluhan bahkan mungkin ratusan orang, ini adalah untuk mengangkat tiang-tiang kayu dan membuatnya berdiri kokoh. Di Mandar, Sulawesi Barat utamanya di bagian pesisir pantai biasanya kegiatan ini akan dilaksanakan setelah Jumatan, mengapa? karena pada momen ini para kaum lelaki yang banyak berprofesi sebagai nelayan akan berada di daratan, tak melaut, karena shalat Jumat adalah waktu berkumpulnya kaum lelaki, sementara kegiatan mendirikan rumah melibatkn kegiatan fisik yang menguras tenaga, karena itu mudah menandai kegiatan mendirikan rumah, biasanya dilangsungkan pada hari Jumat, setelah shalat Jumat.
    Saat kaum lelaki dan para pemuda saling bergotong royong dalam mendirikan rumah panggung (Mappakeqdeq Boyang) di desa Lambanan, kec. Balanipa, Kab. Polman, Sulawesi Barat (Foto : Ilham)
    Tradisi mendirikan rumah panggung di desa Lambanan ini, berlangsung pada Jumat, tanggal 31 Agustus 2018. 

    Kontributor :
    Teks : Ilham, Muhammad Tom Andari
    Foto : Ilham

    Mairiqmi anginq di birinna sasiq. minjijir tomi tia lopi-lopi. Kurang lebih Sebanyak 150 lopi-lopi (lopi sandeq ukuran kecil) akan berlomba, mencari yang terbaik dan tercepat. Lomba Sandeq Keccuq kembali akan dihelat di Dusun Labuang. Desa Laliko Kec. Campalagian, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

    Hampir sekali setahun lomba ini rutin digelar, kali ini disponsori oleh Kepala Desa Laliko. Dusun Labuang, desa Laliko, kec. Campalagian adalah wilayah pesisir yang banyak dihuni oleh pelaut yang masih menggunakan beberapa perahu sandeq tradisional. Dan tradisi perahu Sandeq mini dilombakan di wilayah dusun ini. 

    lomba sandeq keccuq 2018 labuang, laliko
    Perahu Sandeq Keccuq di bibir pantai Labuang, desa Laliko, kec. Campalagian, kab. Polman, Sulawesi Barat (Foto : Ramnalia)

    lomba sandeq keccuq 2018 labuang, laliko campalagian
    Perahu Sandeq Keccuq di bibir pantai Labuang, desa Laliko, kec. Campalagian, kab. Polman, Sulawesi Barat (Foto : Ramnalia)

    Hari ini Kamis, (30/08/2018) ratusan perahu sandeq kecil ini sudah berbaris rapi di bibir pantai Labuang, ini merupakan bagian hiburan rakyat yang menarik disaksikan. Dijadwalkan lomba akan dimulai sekitar pukul 14.00 Wita.

    Kontributor :
    Teks : Ramalia
    Foto : Ramalia

    Di jajaran kuliner Mandar bau peapi sudah lama terkenal di posisi pertama, hampir setara dengan jepa sebagai teman bersanding untuk menikmati bau peapi, namun menu ikanAmbu mungkin tidak banyak dikenal, atau tidak sepopuler bau peapi. Menu ikan ambu mudah ditemukan ditawarkan oleh kedai di bagian utara kab. Majene, misalnya di kec. Pamboang, tepatnya di dusun Rawang desa Bababulo, ada beberapa kedai di jalur jalan provinsi yang menawarkan menu kuliner ikan yang lezat ini. 

    Bau peapi adalah makanan khas suku Mandar yang masih sering kita jumpai di Mandar, Sulawesi Barat, lalu apa bedanya dengan menu ikan ambu atau bau ambu? Ikan Ambu punya satu ciri utama, ia menggunakan kuah santan yang tentunya gurih. Menu ikan ambu misalnya untuk jenis yang ditawarkan di kec. Pamboang berbahan ikan khusus bentuknya mirip ikan Barracuda, dengan ukuran panjang, dengan daging putih bersih dengan banyak tulang.

    menu ikan ambu khas mandar
    Menu Ikan Ambu khas Mandar (Foto : Indra Ariana)
    Dari dua gambar yang saya dokumentasikan dibawah ini, tampak jelas perbedaannya untuk menu bau peapi dan bau ambu.
    1. Jenis ikannya
    2. Beberapa bumbu

    bumbu menu bau peapi
    Bumbu menu bau peapi (Foto : Indra Ariana)
    bumbu menu bau ambu
    Bumbu menu bau ambu (Foto : Indra Ariana)
    Biasanya jika memasak ikan jenis Tuna (turingan, tappilalang) ikan bulalia dan ikan layang kita hanya menggunakan asam mangga, bawang daun, minyak, garam, kunyit, air (pammaissang, lasuna mandar, lomo mandar, sia, cawe2, asso, uwai). (Gambar 2) Sedangkan untuk menu ikan Ambu sama seperti bau piapi, hanya saja untuk kuahnya menggunakan santan dan sedikit tambahan serei yang dimemarkan. (Gambar 3) 

    Bau peapi Mandar (Foto : Indra Ariana)




    Hal yang kontras dan mudah dikenali adalah bau peapi punya kuah berwarna kuning, sementara bau ambu punya kuah putih tampak pucat, dari jauh mudah dibedakan dari soal warna kuah ikannya

    Kontributor :
    Foto : Indra Ariana
    Teks : Indra Ariana

    Buku Puang dan Daeng, Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar, buku budaya yang merekam dengan baik nilai-nilai dan status sosial yang dimiliki oleh orang Mandar. Ada perekaman kasta yang tergambar jelas dalam masyarakat Mandar dan ditulis dengan sangat lengkap oleh Darmawan Masud Rahman, seorang budayawan dan guru besar di Universitas Negeri Makassar. 

    Buku puang dan daeng sebelum didokumentasikan adalah karya ilmiah tesis penulis yang kemudian diangkat menjadi sebuah buku, hampir sama dengan buku Imam Lapeo, Jejak Kewalian Di Masyarakat Mandar yang merupakan hasil disertasi penulisnya Zuhriah Yaya. 

    Tampaknya ada beberapa cetakan buku Puang dan Daeng, di awal terbit dan publikasinya adalah pada suatu seminar yang dilangsungkan oleh pihak DPRD Kab. Majene, dalam even itu buku ini dibagikan secara gratis. Jika ingin membeli di toko buku nyaris tak akan Anda temukan, karena ini adalah buku yang diterbitkan dengan kerjasama pemerintah.

    Untuk mendapatkan buku ini hanya terbatas pada akses melalui program pemerintah, dan terbaru tulisan "Buku Penunjang Muatan Lokal" tertera di sudut kanan, buku terbitan sebelumnya tak ada tulisan ini, artinya buku ini dapat ditemukan pada lembaga pendikan atau institusi pemerintah yang mengajarkan muatan lokal, karena itu tidak heran jika buku Puang dan Daeng ini seperti yang tampak dalam foto dapat dibaca di perpustakaan SMU Neg. 3 Majene. Kemungkinan setiap sekolah di Sulawesi Barat akan mendapatkan buku ini. 

    buku puang dan daeng sistem nilai budaya orang balanipa mandar
    Sampul halaman depan Buku Puang dan Daeng, Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar (Foto : Arham)
    Jika ingin mempelajari bagaimana tingkatan strata sosial masyarakat tradisional Mandar masa lampau maka buku ini sangatlah tepat, dan persoalan tingkatan strata sosial di Mandar walaupun perlahan tergeser masih tetap dapat dirasakan. Status sosial masyarakat di Mandar masih memegang beberapa prinsip yang dijelaskan dalam buku ini, misalnya untuk hal yang lebih tradisional bahwa kelompok Puang hanya boleh menikah dengan golongannya sesama Puang dan Daeng hanya boleh menikah dengan golongannya sesama Daeng. 

    Sebagai editor adalah Muh. Idham Khalid Bodi, budayawan muda Mandar yang berprofesi sebagai pengajar dan peneliti, ia banyak menelurkan buku-buku seputar budaya.

    Kontributor :
    Foto : Arham
    Teks : Muhammad Tom Andari

    ,

    Mattula Bala (Tolak bala) adalah tradisi yang dilakukan saat kampung sering dilanda musibah (makarra boi lino). Kegiatan tradisi yang didalamnya terdapat nilai dan pesan permohonan untuk memberikan keamanan dan kedamaian bagi kampung. 

    Mattula Bala biasa dilakukan oleh orang-orang Sendana di kabupaten Majene dan di daerah-daerah lainnya dimana populasi orang Mandar bermukim.

    Kegiatan mattula bala yang dilakukan oleh orang Mandar di Sendana, kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Indra Ariana)
    Adapun yang biasa disiapkan seperti ode-ode, banno/batte, taqbu sala, daun atawan (yang mengapung diair)+ air. Adapun taqbu sala, daun atawan setelah dilakukan do'a bersama diikat di atas pintu (ventilasi)

    onde onde mattula bala tradisi mandar
    Ode-Ode (Onde-Onde) yang biasanya akan disiapkan dalam kegiatan tradisi mattula bala (Foto : Indra Ariana)
    Rangkaian kegiatan tradisi yang berlangsung secara turun temurun yang merupakan bukti kekuatan warisan kebudayaan yang kuat di Sulawesi Barat.

    Kontributor :
    Teks : Indra Ariana
    Foto : Indra Ariana

    Kaleok adalah desa kecil yang terletak di perbatasan antara Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, tepatnya di ketinggian 600-800 meter di atas permukaan laut kecamatan Binuang, kabupaten Polewali Mandar,. Desa kaleok dikenal dengan desa yang memiliki bahasa daerah dan adat yang kental dengan garis keturunan Pattae.

    Salah satu adat yang ada dan masih dilaksanakan sampai saat ini adalah "Ma'tamba Bulung". Ma'tamba bulung dalam pandangan warga desa Kaleok merupakan upacara adat sebagai permohonan kepada yang Mahakuasa agar segala usaha masyarakat dalam ruang lingkup desa berhasil, baik dalam bidang pertanian, perkebunan, dan bidang lainya. Biasanya upacara adat ini dilaksanakan saat padi di sawah mulai berbuah dan dilaksanakan setidaknya satu kali dalam satu tahun.

    Kontributor :
    Teks : Ilal Futra Sytha
    Foto : Ilal Futra Sytha

    Salah satu teknik olahan kuliner yang memegang prinsip "dibuang sayang" adalah dengan melakukan rekondisi pada sisa makanan, dekat dengan prinsip mencegah "mubazir" atau membuang-buang makanan. Orang-orang di Sulawesi Barat dikenal sering memanfaatkan makanan dengan melakukan pengolahan ulang bahan yang tentu saja masih layak. 

    Orang Banggae Timur di Majene biasa menyebutnya dengan nama Rubu-Rubuq, di Balanipa, Polman dan sekitarnya biasa disebut dengan Jabu-Jabuq, di Polewali disebut "Bajabu" ini adalah olahan makanan dari sisa ikan atau ikan yang memang disiapkan untuk diolah. Mungkin istilah yang tepat diberikan adalah abon ikan, karena bahan utamanya adalah daging ikan. 

    rubu rubuq jabu jabuq bajabu kuliner mandar
    Rubu-rubuq, Jabu-Jabuq, atau Bajabu kuliner olahan orang Mandar di Sulawaei Barat (Foto : Muhammad Hasbi)
    Bahan yang utama yang digunakan tentu saja adalah daging ikan yang disiapkan dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu, berikut bumbu dan bahan-bahannya yaitu : serei, lengkuas, cabe besar dan kecil, lada, kemiri, garam secukupnya, bawang daun dan jeruk secukupnya. Adapun cara membuatnya adalah pertama-tama ikan direndam dengan air panas kemudian di peras dan dihaluskan bersama bumbu, setelah  panaskan minyak lalu digoreng dan diaduk sampai rata.

    Ada yang menyandingkan kuliner ini dengan Jepa, ada juga yang memasangkannya dengan nasi dingin, untuk menambah selera makan maka rubu-rubuq/jabu-jabuq bisa dibuat lebih pedas dan disiram dengan kuah sayur labu atau sayur kacang hijau. 

    Rubu-rubuq/jabu-jabuq biasa juga dijadikan sebagai bahan isi "kambu" untuk kuliner gogos yang terbuat dari beras ketan, Gogos dengan kambu selalu enak lain dengan gogos netral yang tanpa kambu, rasanya akan datar-datar saja.

    Kontributor/Narasumber : Muhammad Hasbi, Muhammad Qasim
    Teks : Muhammad Tom Andari

    Petikan tulisan seorang anak bernama Romi, duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, berusia 12 tahun dan berasal dari daerah terpencil di kecamatan Tubbi Taramanu, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Betapa jelas tergambar dari tulisan singkat yang ia buat potret keindahan Tubbi Taramanu, dari pemandangan hingga riuh nyanyian burung, ia membanggakan dengan jelas potensi keindahan yang dimiliki Tubbi Taramanu (Tutar), daerahnya yang masih alami menjadi alasan ia merekamnya dalam tulisan lewat kata-kata "Kampung halamanku sangat indah banya pemandangan dan burung pun banyak"

    petikan tulisan romi tutar polman
    Petikan tulisan Romi dalam secarik kertas saat mata pelajaran SBK (Foto : Andi Syura Muhlis)
    Romi lalu bercerita akses menuju sekolah yang harus ia lalui. Masuk ke hutan  dan menyeberangi sungai besar, itu ia keluhkan dengan merekamnya lewat tulisan "tapi kami sulit berangkat ke sekolah" anak- anak seusianya di desanya setiap hari harus berhadapan dengan akses pendidikan yang cukup sulit. Hal yang kontras dengan apa yang ditemukan dengan  anak -anak lain yang hidup di perkotaan, dengan mudah dan lancar menuju sekolah, namun berbeda jauh dengan nasib Romi.

    Romi juga secara tidak langsung ingin menyampaikan kondisi bahwa kadang saat hujan lebat akan menghalangi aktivitasnya sehari-hari, beberapa wilayah Tubbi Taramanu dipisahkan oleh sungai yang kadang memuat debit yang begitu besar saat hujan datang. Besarnya debit air akan memaksa warga untuk berhenti dari aktivitas penyeberangan. Dan hampir semua kegiatan akan terhenti saat fenomena alam yang tak dapat dikendalikan ini sedang berlangsung. Sekolah Romi terhambat, begitu juga dengan segala kegiatan warga desa Tubbi Taramanu.

    Petikan tulisan Romi dalam secarik kertas saat mata pelajaran SBK (Foto : Andi Syura Muhlis)
    Berikut petikan tulisan sederhana dari Romi, disalin dengan tulisan asli dengan tanda baca disesuaikan dengan yang tertulis pada secarik kertas yang ia buat dengan pulpen saat mata pelajaran SBK (Seni Budaya Keterampilan).

    "Tentang Kampung Halamanku Tubbi Taramanu

    Kampung halamanku sangat indah banya pemandangan dan burung pun banyak

    tapi kami sulit berangkat ke sekolah, karna kami melewati hutan dan apalagi sungai besar. dan terpaksa saya tidak sekolah dan saya pun dirumah melihat pemandangan dan burung yang terbang.

    Saya bertanya pada di saya sendiri  muda-mudahan sungai tidak besar besok pagi dan sore-sore saya pergi ke kampung saya tinggal dirumah nenek saya dan akhirnya saya pagi-pagi bangun dan mandi akhirnya saya sekolah lagi sampai sekolah saya ditanya ibu guru"

    Realita yang terjadi di pelosok kecamatan Tubbi Taramanu dimana akses memperoleh pendidikan menjadi satu hal yang sulit. 

    Kontributor :
    Teks : Romi, Muhammad Tom Andari
    Foto : Andi Syura Muhlis

    Selalu saya temui komat-kamit dan gerakan-gerakan tertentu lalu dibumbui dengan mantra, baik disaat menghidangkan makanan hingga perahu sudah mencapai bibir pantai. Itu saya temukan di desa tempat saya tinggal, desa Tubo, kec. Tubo Sendana, kab. Majene, Sulawesi Barat. Desa ini berada di kawasan pesisir utara Majene yang jaraknya sekitar 70an km dari pusat kota kabupaten. Karena berada di tepian laut dan pantai maka jenis pekerjaan masyarakat tidak jauh dari laut, banyak diantara penduduk di desa saya yang berprofesi sebagai nelayan. 

    ritual tradisi mengapungkan perahu di desa tubo majene
    Ritual dn tradisi sebelum mengapungkan perahu di desa Tubo, kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Hasbi Djaya)
    Hal yang unik adalah kebiasaan masyarakat Tubo sebelum melarung kapal ke laut, selalu ada doa-doa, makanan, dan ritual yang seolah harus dilakoni untuk meyakinkan bahwa perahu dilingkupi berkah, dan dimudahkan dalam perjalanannya kelak. 

    Sebelum perahu didorong ke laut, ritual-ritual semacam ini masih sangat kental dan sakral untuk dilalukan. Jika ia luput, maka mereka percaya akan terjadi halangan yang dapat mengganggu. Barazanji dan doa-doa lainnya serta menu yang lazim ditemui saat upacara-upacara adat di suku Mandar selalu saya dapati, sudah kesekian kalinya,  tentu saja dengan cara menghidangkan yang unik, sokkol, uleq-uleq, serta buah pisang yang dipotong  pada bagian ujungnya, abaya, kemenyan dsb.

    Buah pisang yang disajikan  beragam, biasanya dari jenis pisang yang berbeda, dari pisang kepok, serta pisang ambon disajikan diatas baki lebar 

    buah pisang ritual mengapungkan perahu di desa tubo majene
    Ragam jenis pisang dalam ritual mengapungkan perahu di desa Tubo, kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Hasbi Djaya)
    Selain buah pisang juga terdapat Sokkol yang terbuat dari beras ketan yang diberi campuran santan diatasnya disusun cucur, penganan lokal yang terbuat dari gula aren berbentuk bundar yang dimasak dengan digoreng. Tak lup pula ada bubur kacang hijau, yaitu kacang hijau yang direbus dengan campuran gula aren, ini selalu ada saat kegiatan ritual-ritual orang Mandar.

    sokkol dalam ritual mengapungkan perahu di desa tubo majene
    Sokkol dan rokok dalam ritual mengapungkan perahu di desa tubo, kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Hasbi Djaya)
    Juga selalu ada dupa (kemenyan) yang dibakar untuk melengkapi ritual lokal ini. Wanginya yang semerbak lalu akan mengisi segala ruang di sekitar lokasi ritual. Beriringan dengan suara Barazanji  yang bercerita mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad S.A.W

    dupa dalam ritual mengapungkan perahu di desa tubo majene
    Dupa dalam ritual mengapungkan perahu di desa tubo, kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Hasbi Djaya)
    Pemandangan ini sudah biasa bagi kami penduduk desa, ini semua seolah wajib dilakukan jika ingin perahu diberkahi dan dipermudah dalam kegiatan melaut. Lalu kami warga sekitar akan berbondong-bondong datang membantu kegiatan ini, membantu mendorong perahu pemburu ikan tuna berukuran sedang. 

    gotong royong mengapungkan perahu di desa tubo majene
    Gotong royong mengapungkan perahu di desa tubo, kec. Tubo Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat (Foto : Hasbi Djaya)
    Setelah itu makanan akan kami santap sebagai pengganti energi yang terkuras. Nilai-nilai gotong-royong dan kearifan lokal masih sangat terjaga di daerah pesisir desa Tubo, kab. Majene

    Kontributor :
    Teks : Hasbi Djaya , Muhammad Tom Andari
    Foto : Hasbi Djaya

    Buku-buku yang merekam tentang keragaman budaya di Sulawesi Barat cukup banyak, salah satunya adalah buku ini, dengan judul "Meneropong Prospek & Transformasi Pariwisata Budaya Majene" karangan  Fahmi Massiara, Abd. Rahman, dan Abd. Rimba. Saat ini penulis pertama memegang jabatan sebagai Bupati di kabupaten Majene. 

    Buku ini secara singkat mendeskripsikan secara rinci dan jelas serta sistematis mengenai potensi objek wisata budaya yang ada dan bertumbuh di kabupaten Majene, Sulawesi Barat seperti messawe saeyyang pattuqduq, adat istiadat perkawinan Mandar, tradisi parrawana Mandar, tradisi kerajinan tenun dan budaya sarung sutra Mandar dll.

    buku-meneropong-prospek-dan-transformasi-pariwisata-budaya-majene
    Buku Meneropong Prospek dan Transformasi Pariwisata Budaya Majene Jilid 3, karangan Fahmi Massiara, Abd Rahman dan Abd. Rimba (Foto : Arham)
    Buku yang mungkin pantas Anda miliki jika ingin menyelami kekayaan budaya suku Mandar, suku yang dominan menghuni kabupaten Majene. Buku ini layaknya katalog yang menyajikan daftar wisata budaya yang potensial untuk dikunjungi. Untuk memudahkan menandai atraksi budaya apa saja yang menarik dan kemungkinan berada di daftar kunjungan wisata Anda saat berada di Majene. 

    Selain potensi wisata sejarah, maka wisata budaya juga punya kans besar menjadi alasan berkunjung ke Majene, ada ragam tradisi dan budaya masyarakat setempat yang masih lestari dan dilakukan selama beberapa generasi misalnya tradisi menunggangi kuda menari setelah khatam Alquran, biasanya akan banyak ditemukan saat mendekat perayaan Maulid. Kadang pula ditunjukkan saat resepsi pernikahan sebagai acara pelengkap. 

    Jika ingin melihat banyak potret budaya, maka ikutilah ritus kehidupan orang-orang Mandar, dari kelahiran, pernikahan hingga kematian, masih ada tradisi kental yang berlangsung di kab. Majene, walaupun juga tak terlepas dari pengaruh modernisasi dan globalisasi yang perlahan dan pasti mengurangi tradisi-tradisi lokal yang ada. 

    Kontributor :
    Teks : Arham, Muhammad Tom Andari
    Foto : Arham

    Dalam suatu kesempatan saya berkesempatan ikut dengan Aryandi, saat itu ia masih bertugas di dinas kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat (mungkin saat ini ia sudah berpindah ke dinas lain), kami berkenalan lewat Kompadansa Mandar (Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar) komunitas yang banyak bermain di budaya, sejarah, serta wisata di Sulawesi Barat. Saya lalu diajak ikut dalam program pendataan situs bangunan sejarah di wilayah Sulawesi Barat.

    Satu hal yang saya dapat adalah saya ikut jalan-jalan dan mendapat ilmu banyak tentang fakta kesejarahan, salah satunya buku ini, yang memuat catatan situs-situs bangunan sejarah di wilayah Kabupaten Majene, isinya menjelaskan ada 91 situs bangunan sejarah yang telah di data. Buku ini terbit dibawah kendali "Pengelolaan dan Pengembangan Pelestarian Sejarah Purbakala Tingkat Kab. Majene" berupa catatan hasil survey kepurbakalaan yang telah dilakukan pihak berwenang.

    buku survey kepurbakalaan wilayah kabupaten majene
    Buku hasil survey kepurbakalaan di wilayah kabupaten Majene (Foto : Ashari Sarmedi)
    Dari hasil penelusuran kami, di wilayah Sulawesi Barat, ada banyak situs peninggalan sejarah yang belmu didata, karena tak adanya penjelasan yang lengkap berkaitan dengan situs tersebut.
    buku survey kepurbakalaan wilayah kabupaten majene sulbar
    Buku hasil survey kepurbakalaan di wilayah kabupaten Majene (Foto : Ashari Sarmedi)
    Jika melihat isi buku dan beberapa tempat dan lokasinya maka dapatlah kita mengambil kesimpulan betapa kabupaten Majene begitu banyak memiliki tinggalan purbakala dan jejak sejarah masa lampau. Dalam hal ini ia dapat diangkat dan dijadikan sebagai satu komoditas pariwisata, namun sebelumnya tentu menyiapkan segala fasilitasnya untuk layak dikunjungi dan dijadikan objek wisata sejarah.

    Jika dibandingkan dengan kabupaten Polewali Mandar, kabupaten yang berdekatan dengan Majene maka Majene masih lebih layak untuk dijadikan destinasi wisata sejarah, jejak kerajaan Banggae dan hal-hal-seputarnya yang masih bertalian erat sangat mudah kita temukan di wilayah utama pusat kota kabupaten Majene. Sementara di kabupaten Polman objek wisata sejarah dalam soal akses kemudahan mobilitas masih sulit, jarak antar objek wisata sejarah cukup jauh, berbeda dengan yang ada di Majene, jarak antar objek masih ada dalam jangkauan yang cukup dekat. 

    Hanya saja jika ingin mengembangkan objek wisata sejarah di Majene maka fasilitas, serta pemandu wisata khusus untuk tour sejarah perlu dilihat kembali, tak banyak sumber daya manusia yang paham betul mengenai latar belakang kesejarahan objek wisata, para juru pelihara makm yang ditugaskan oleh pemerintah setempat hanya sekedar menjaga, tanpa tahu banyak soal latar belakang kesejarah objek tersebut. 

    Kontributor :
    Teks : Ashari Sarmedi, Muhammad Tom Andari
    Foto : Ashari Sarmedi

    Dahulu ada banyak karangan atau tulisan dan buku-buku seputar bahasa Mandar, saat ini tak ada lagi buku baru yang dipublikasi dan berkaitan dengan bahasa lokal penyusun bahasa utama di Sulawesi Barat. Tokoh Abdul Muthalib, tokoh penulis dan periset Mandar yang menjadi peletak dasar Kamus Bahasa Mandar mungkin adalah penulis yang paling banyak mempublikasi karangan seputar penelitian dan akidah penggunaan bahasa Mandar, selain beberapa budayawan dan penulis lokal yang biasa menulis soal bahasa Mandar.

    buku tata bahasa mandar
    Sampul depan tulisan Tata Bahasa Mandar karangan Abdul Muthalib dkk (Foto : Sugiarto)
    Ini ditulis bersama 3 penulis lainnya yaitu Muhammad Sikki, Adnan Usmar, dan J. S. Sande. Ragam aturan dan hasil penelitian disajikan dalam tulisan ini. Salah satu dari tulisan Abdul Mutalib yang menarik adalah ragamnya penyebutan untuk satu benda dengan letak geografis yang berbeda. Dari sumber tulisan ini terdapat 4 dialek yang digunakan dalam bahasa Mandar diantaranya yaitu dialek Balanipa, dialek Majene, dialek Pamboang, dan dialek Sendana.

    Misalnya saja untuk buah pisang dalam bahasa Indonesia dialek Balanipa dsebut loka dalam dialek Majene loka, dialek Pamboang Lujo, dalam dialek Sendana loju. 

    Jika melihat cakupan wilayah, dari Paku sampai Suremana, istilah pisang saja dewasa ini akan sangat beragam, jika keluar dari apa yang disajikan oleh buku ini, misalnya saja pisang di daerah Campalagian disebut "Lijo" yang wilayah Campalagian akan dipengaruhi oleh bahasa Koneq-Koneq, sementara di wilayah kec. Tapango pisang disebut "Putti". Ada begitu banyak bahasa lokal yang akan berpengaruh dalam wilayah Mandar secara geografi. 

    Kontributor :
    Teks : Sugiarto, Muhammad Tom Andari
    Foto : Sugiarto

    Mungkinkah bahasa daerah akan tinggal kenangan? Pertanyaan ini, saya tanyakan karena kedatangan tamu seorang anak berusia SMP dia masih keponakan. Zaki (namanya) datang membawa sebuah buku dongeng. Di sampul buku itu tertulis "cerita rakyat Mandar". Apa yang menjadi kegelisahan pertanyaan saya, ternyata ceritanya benar asli dari suku Mandar tetapi bahasa atau tulisannya malah memakai bahasa Indonesia, celakanya lagi, Zaki yang notabene kedua orang tuanya bersuku Mandar juga tak tahu menerjemahkan dongeng dalam buku ini ke dalam bahasa daerah Mandar jangankan Zaki orang tuanya saja bingung. Bayangkan, berapa banyak anak seusia Zaki yang hanya mengerti maksud bahasa Mandar tetapi tidak fasih mengucapkannya?

    Dan buku yang seharusnya berbahasa Mandar ini dicetak dengan memakai bahasa Indonesia. Mungkin memakai bahasa Indonesia untuk meraup pasar yang lebih luas, tidak apa. Tapi jangan lupa asal dongeng itu yang aslinya berbahasa Mandar. Buku itu jelas kehilangan ruh bila harus menyebut dongeng ini berasal dari Mandar. Hemat saya buku ini seharusnya ada dalam dua bahasa, satu berbahasa daerah satunya lagi bahasa hasil terjemahan.

    Pada akhirnya saya harus mengeja si Zaki kata per kata kata, dan ternyata butuh waktu untuk itu . Mengajar bahasa Mandar seperti membimbing seorang pendatang baru. Bahasa Mandar mungkinkah sebentar lagi akan punah?. Semoga saja tidak.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Mandar tidak akan punah, namun menurut apa yang saya rekam, khusus di kota Majene terutama anak yang lahir di Majene. Agaknya sudah mengarah ke kasus seperti Zaki. Bisa di uji, sesekali coba berdialog dengan mereka. Kita akan mendengar ia akan membalas dengan memakai bahasa Indonesia, padahal kita berbicara dengan mereka dengan menggunakan bahasa Mandar. 

    Seperti dijelaskan oleh Prof Dr. Multamia Lauder, pakar bahasa dari Universitas Indonesia (dikutip dari tirto.id) bahwa lebih dari 25 bahasa lokal berstatus hampir punah diantaranya yaitu Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.

    Dari infografis yang disajikan dan bersumber dari data Kemendikbud, di wilayah Sulawesi Barat tertera satu bahasa yang terancam punah, yaitu bahasa Mandar.   

    bahasa-mandar-terancam-punah
    Infografis keterancaman bahasa Mandar (Foto : tirto.id)
    Buku berjudul "cerita dari Mandar" menjadi salah satu buktinya. Sebuah usaha untuk melestarikan cerita rakyat (dongeng) dan telah di bukukan, jujur, saya sangat mengapresiasi usaha tersebut. Tetapi, seharusnya tak melupakan bahasa daerah asal dongeng itu (bahasa Mandar), jangan hanya karena memburu tuntutan "pasar" sampai harus melupakan asal muasal momolitan (dongeng) tersebut.

    Generasi sekarang saja termasuk saya sudah banyak bahasa Mandar yang tidak diketahui artinya, apalagi generasi setelah kami. Jadi menurut saya sangat wajar kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mandar akan terjadi. Semoga itu hanya kekhawatiran saya saja. 


    Jika membandingkan dengan buku yang satu ini (Mottiana Mandar) lengkap. Menurut saya ini adalah buku yang sangat bergizi. Sebuah buku yang bisa di baca orang luar dari suku Mandar tapi tidak sampai melupakan asal muasalnya.

    Sampul buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra (Foto : Tahmid)

    Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)

    Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)
    Saya menilai sang penulis dalam hal ini Alm. M. Mandra mengetahui/sadar betul banyak anak asli orang Mandar yang tinggal di perantauan dan kemungkinan besar tak bisa mengucapkan lagi bahasa Mandar secara fasih. Maka beruntunglah masih ada buku semacam ini. Buku ini memiliki artikel yang aslinya bertuliskan lontar kemudian di terjemahkan kedalam dua bahasa, bahasa Mandar dan bahasa Indonesia.

    Tetapi pada faktanya kita masih beruntung masih ada daerah pedalaman yang boleh dikatakan belum terkontaminasi, sangat berbeda dari daerah pesisir seperti daerah Majene yang telah lama membuka diri menerima para pendatang dari luar dan itu juga salah satu pengaruhnya. Tapi menurut saya penyebab utamanya itu adalah didikan orang tua sendiri, sejak kecil terbiasa memakai bahasa Indonesia bahkan ada yang berbahasa asing.


    Kontributor :
    Teks : Tahmid
    Foto :  Tahmid


Top